Kenangan Ramadhan: Dilarang Berpuasa oleh Nenek







“IMSAK KURANG 15 MENIT.”
Suara itu terdengar keras di telinga.
Membangunkan saya yang sedang tertidur pulas.
Suara orang membangunkan umat muslim untuk bangun melaksanakan sahur.
Namun saya enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Bertahun-tahun saya mendengar suara itu setiap Bulan Ramadhan dan saya selalu sedih bahkan pernah menangis karenanya.

Sayup-sayup terdengar kesibukan di dapur, Nenek, Ibu dan ketiga Bibi saya pasti sedang menyiapkan hidangan untuk sahur. Saya lalu melihat ke tempat tidur yang berada di sebelah. Mbak Mud, kakak saya yang nomer tiga sudah tidak ada lagi di situ, mungkin dia sedang mencuci muka dan tangannya. Atau mungkin sudah duduk bersama kedua kakak saya di meja makan, menunggu makanan sahur disiapkan.

“Lho kok kamu bangun, Le?” tanya Nenek ketika melihat saya ikut terjaga pada dini hari di Bulan Ramadhan tahun lalu.
“Aku pengin ikut puasa…”
“Nggak usah, kamu belum kuat. Sudah sana tidur lagi!” perintah Nenek dengan tegas. Beliau kemudian bangun dan keluar dari kamar.

Saya hanya bisa pasrah menuruti perintah Nenek. Saya kembali merebahkan badan, tak lama pipi dan bantal saya terasa basah oleh air mata.
Saya tahu Nenek melarang saya untuk ikut berpuasa karena beliau khawatir saya jatuh sakit. Tapi tetep saja saya merasa sedih karena dilarang melaksanakan ibadah yang hanya berlangsung setahun sekali. Saya ingin merasakan kebersamaan bersama kakak-kakak ketika makan sahur, merasakan bagaimana perihnya menahan lapar dan dahaga di siang hari dan bersuka cita saat tiba waktu berbuka.
Usia saya saat itu mungkin sekitar lima tahunan. Badan saya memang sejak kecil kurus tapi saya yakin saya pasti kuat menahan lapar dari pagi sampai sore. Tapi Nenek beranggapan lain. Rasa sayang yang terlalu besar memang ada kalanya membuat orang tua khawatir yang berlebihan, tidak mempercayai kemampuan anaknya.

Alhamdulillah ketika saya duduk di bangku SD Nenek akhirnya mengijinkan saya ikut berpuasa juga. Karena saya memulai belajar puasanya telat maka saat itu saya tidak langsung puasa penuh sehari. Kenangan dilarang berpuasa ketika masih kecil ini pada akhirnya membuat saya bisa lebih bersyukur dan tak mau menyia-nyiakan Bulan Ramadhan setelah dewasa. Hidup di negara tropis dan mayoritas Muslim membuat ibadah puasa kami lebih ringan/mudah daripada saudara-saudara kami yang ada di belahan bumi lainnya. Misalnya saja kaum muslim di Eropa, mereka harus berpuasa lebih lama yaitu 17 jam, mereka baru berbukapuasa pukul 9 malam. Belum lagi kondisi sebagai minoritas yang membuat mereka agak kesulitan menemukan masjid ketika ingin menjalankan sholat Tarawih berjamaah.


Bagaimana dengan Anda, apa kenangan Ramadhan di masa kecil yang masih membekas sampai saat ini? Sharing juga yuk di kolom komentar.


5 komentar

  1. Tetanggaku melarang anaknya berpuasa "hanya" karena, "nanti kurus, gak pantes pakai baju lebaran baru."

    Gelo haha.

    Ponakanku yang kecil, usia 6 th, pecah puasanya karena "dipaksa" ibukku (neneknya). "Ibu kasihan, kayaknya lemes bener" padahal bocahnya nggak ngerengek minta batalin haha. Alhamdulillah sekarang selalu full karena kami para omnya bilang, "gakpapa lemes, selagi kuat"

    omnduut

    BalasHapus
  2. Sungguh kenangan yang menyentuh hati, mbak Sora. Nenek yang khawatir cucunya jatuh sakit karena puasa...

    BalasHapus
  3. Kenangan ramadhan masa kecil dulu sepertinya lebih serruuuu...habis saur selalu keluar sama teman2 menuju masjid rame2...eehh tapi pernah juga nakal...mokel makan rengginang sembunyi dibawah meja....wkwkwkwkwk...duhh semoga gak ditiru anakku...

    BalasHapus
  4. Sama,, aku dulu baru boleh puasa pas sdh kls 5 SD,, sebelum itu g boleh. Hehehe

    BalasHapus
  5. hahaha... kenapa hampir semua nenek saya ya,saya juga dilarang puasa saat belumSD, bahkan pas SD saya juga belum boleh lho mas. Saya nggak mau gitu sama anak saya, alhamdulillah anak saya sudah kuat puasa sampai ashar pas SD kelas 1

    BalasHapus